AFPPelatih Chelsea, Roberto Di Matteo. Oleh Anton Sanjoyo Raut wajahnya mirip komedian kita, Da’an Aria, apalagi jika sedang tersenyum. Air mukanya yang cenderung datar juga tak menarik menjadi bahan gosip media Inggris. Sewaktu ditunjuk menjadi manajer sementara Chelsea, Maret 2012, seusai pemecatan Andre Villas-Boas, profilnya nyaris tak dibahas media. Bagi banyak orang, Roberto Di Matteo hanyalah manajer numpang lewat yang bakal ditendang begitu saja oleh sang pemilik, Roman Abramovich, seperti enam manajer yang sudah-sudah. Hari-hari awalnya setelah naik pangkat dari asisten Villas-Boas juga tak menyenangkan. Kapten John Terry yang pernah bermain bersama dengan kostum ”The Blues” bertingkah lebih manajer ketimbang dirinya. Pada sebuah laga, Terry secara demonstratif memperlihatkan bahwa dialah ”sang bos”. Saat Di Matteo memberikan arahan, Terry menyuruhnya tutup mulut. ”Shut up!” ujar Terry sambil menaruh telunjuk di bibirnya. Di Matteo hanya terdiam dan berbalik badan. Terry adalah aktor penting di balik pemecatan Villas-Boas. Dialah yang memimpin rekan-rekannya, terutama Frank Lampard dan Didier Drogba, untuk ”menendang” manajer termuda dalam sejarah Liga Primer itu. Gelagat bakal senasib dengan Villas-Boas langsung tercium media, tetapi Di Matteo memilih bungkam. Dia tak sepatah kata pun bicara mengenai kondisi kamar ganti Stamford Bridge. Bahkan, setelah serangkaian kemenangan di Piala FA serta Liga Champions, pria kelahiran Swiss, 41 tahun lalu, itu tetap memberi hati kepada Terry. Menjelang laga melawan Napoli, Di Matteo lebih banyak diam dan memberikan hampir semua waktu kepada sang skipper untuk menjawab pertanyaan pers. Tak banyak cakap, Di Matteo yang disepelekan justru membawa Chelsea ke final kompetisi Eropa paling elite, Liga Champions. Tak tanggung-tanggung, pasukannya yang pincang menyingkirkan favorit, juara bertahan, serta klub paling memesona saat ini, Barcelona. Manajer yang dipecat West Bromwich Albion dan ditolak mentah-mentah oleh Birmingham City itu juga membawa ”Si Biru” ke final Piala FA meski masih tercecer di posisi keenam klasemen Liga Primer. Meski cenderung terlihat lembek, Di Matteo menerapkan strategi dengan tangan besi. Di perempat final, Chelsea menyingkirkan jagoan Portugal, Benfica, termasuk kemenangan 1-0 di Estadio da Luz. Pada laga di Lisabon, Di Matteo membangkucadangkan Drogba, Lampard, dan Michael Essien serta memberi lagi peran kepada Salomon Kalou dan striker yang secara psikologis tertekan, Fernando Torres. Taktik yang semula dikritik karena terlalu besar mengambil risiko terbukti ampuh, terutama dalam kasus Torres yang mulai menemukan kembali irama terbaiknya di tangan Di Matteo. Saat melaju ke semifinal Liga Champions, hampir tak ada yang menghitung peluang Chelsea. Bahkan, tersiar rumor, ada skenario menjadikan laga puncak di Allianz Arena Muenchen sebagai "El Clasico" jilid kesekian, Real Madrid versus Barcelona. Di Matteo bergeming dan dia menerapkan taktik gerendel untuk membungkam ”El Barca” 1-0 di Stamford Bridge. Seusai kemenangan di putaran pertama ini, taktik Di Matteo habis diganyang kritik. Meniru taktik Jose Mourinho saat membawa Inter Milan juara, Di Matteo benar-benar menerapkan gaya bertahan kunci gerendel, catenaccio, khas Italia dengan delapan pemain yang membentuk formasi persegi panjang di zona 16 meter. Boleh dibilang, gaya ofensif Chelsea yang sejak 2004 ditanamkan Mourinho dirombak habis oleh Di Matteo yang memerintahkan pemainnya melakukan intercept keras atau tackling hanya jika sangat yakin akan bersih dari pelanggaran. Beberapa hari setelah kemenangan itu, taktik yang sama diterapkan Chelsea saat jumpa Arsenal. Seakan melakukan geladi bersih untuk putaran kedua di Nou Camp, Terry dan kawan-kawan membuat bomber tersubur Premiership, Robin van Persie, kehilangan sentuhan midasnya di depan gawang. Di luar strategi kunci rapat dan disiplin ketat, sukses Chelsea melangkah ke final Liga Champions juga dipengaruhi kondisi Barcelona yang kelelahan fisik dan mental. Setelah merebut gelar juara dunia antarklub di Jepang, Desember lalu, Barcelona adalah tim yang paling banyak melalui laga kompetitif daripada klub mana pun di muka bumi. Rivalitas mereka dengan Real Madrid di La Liga yang praktis berakhir dengan kekalahan di Nou Camp membuat semua tekanan mental membebani pundak Lionel Messi. Pada taraf tertentu, bahkan pemain terbaik dunia sekalipun tak sanggup mengatasinya, dan terlihat saat bintang Argentina itu gagal mengeksekusi penalti. Di mata penggemar sepak bola indah, laga di Nou Camp memang menjemukan, tetapi Chelsea tidak melanggar satu pun pasal dalam peraturan permainan. Bertahan total dengan disiplin tentara serta kombinasi serangan balik secepat anak panah terbukti ampuh meredam sepak bola mengalir, passing game cantik, dan tiki-taka ala Barcelona. Catatan penting, Chelsea mampu melakukan semuanya bukan karena faktor sang skipper Terry yang diusir wasit pada menit ke-37. Pendekatan dengan gaya low profile yang dilakukan Di Matteo- lah yang membuat ”Si Biru” sangat solid dan disiplin. Di Matteo memilih tidak berkonfrontasi dengan Terry dan memberikan lagi tempat terhormat kepada Torres. Di Matteo belajar banyak dari Mourinho yang membentengi pemainnya agar tetap fokus pada laga. Sementara semua spekulasi mengenai tim dihadapinya seorang diri. Dia pun tak pernah resah dengan masa depannya di Stamford Bridge. Que sera-sera, katanya.sumber
thumbnail
Judul:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkomentar dengan Sopan....

Bagi yang Tidak Mempunyai akun google atau yang lainya bisa komentar dengan ANONYMOUS

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz